AKANKAH PELANGI MENYATUKAN KITA?
Konon, manusia yang hidup dalam keluarga Broken Home adalah manusia gagal dalam masyarakat. Tapi tidak dengan satu orang ini, seorang cewek yang begitu ceria dalam menjalani hari-harinya.
Dan inilah kisahnya
***
Semakin siang, semakin panas dan semakin mengantuk. Seperti itulah wajah-wajah anak kelas XI IPA 3 saat ini yang sedangmendengarkan ceramah pelajaran dari Bapak Sarto Mangkudirdjo Hadi Kusumo Diningrat. Seperti namanya yang begitu panjang dan penuh makna, orangnya juga penuh makna, sampai-sampai seluruh anak kelas XI IPA 1 sampai XI IPA 3 tidak pernah mengerti apa yang selalu dibicarakan olehnya saat mengajar Biologi di depan kelas. Beliau juga tipe guru yang sangat senang menggambar organ-organ manusia, mungkin bisa dikatakan kalau Pak Sarto ini pantas menjadi guru kesenian saja dibandingkan jadi guru Biologi.
Disaat semua anak IPA 3 sedang sibuk mencatat berjuta-juta kalimat di papan tulis, tapi tidak semua mencatat, ada yang ketiduran sampai udah mimpi ke Jakarta atau Amerika, ada juga yang sibuk berdandan. Memang sekarang ini kalau dilihat-lihat para siswa itu lebih banyak membawa alat kosmetik ditasnya daripada buku pelajaran.
***
“Gw pengen pipis,” bisik Nisa pada teman sebangkunya yang sedang sibuk mencatat pelajaran.
“Ya, sana ke kamar mandi!” jawab Nina tanpa menoleh sedikit pun ke Nisa karena tatapannya masih tertuju pada papan tulis di depan kelas.
Nisa beranjak dari tempat duduknya dan mendekati meja guru yang sedang diduduki oleh guru killer itu, dengan jantung seperti mau takbiran.
“Pak, mau izin ke kamar mandi?” pinta Nisa pada gurunya dengan wajah menunduk karena takut.
“Mau ngapain ke kamar mandi?” Tanya Pak Sarto dengan mata menyelidik penuh kecurigaan pada Nisa.
“Ya, mau pipis lah pak!” masak mau makan?” jawab Nisa dengan keceplosan. Sontak wajah Nisa menjadi merah karena malu dan ketakutan kalau-kalau mau di grogot Pak Sarto.
Sontak seisi kelas XI IPA 3 SMA Puspa Harum mengalihkan pandangan kea rah Nisa dan Pak Sarto yang saat itu sedang bertatapan penuh kekejaman seakan mereka ingin saling bunuh (Alah Lebay . . . hahaha!!! ). Beberapa detik kemudian terdengar suara tawa membahara diseluruh kelas sebab anak-anak tidak sanggup lagi menahan tawa karena ulah si Nisa.
“Diam kalian semua!” teriak Pak Sarto dengan kecepatan suara supersonic yang membuat telinga anak-anak pada mengkerut semua. Dan dalam secepat kilat mereka semua diam dalam keheningan siang.
“Apa yang kalian tertawakan? Tidak ada yang lucu disini!” lanjut Pak Sarto yang membuat suasana kelas menjadi semakin mencekam.
“Kamu . . . (tunjuk Pak Sarto pada Nisa dengan mata melotot) cepat ke lapangan dan lari 10 putaran!” perintah Pak Sarto pada Nisa, yang sedang merutuki sendiri karena keceplosan bicara.
“Iya pak,” jawabnya dengan nada yang sangat lemas kayak orang tidak makan selama 10 hari.
Memang begitulah Pak Sarto, jenis guru yang suka memberi hukuman kepada muridnya tanpa ba-bi-bu lagi.
Dengan langkah gontai Nisa menuruni satu demi satu anak tangga lantai XI IPA 3, yang saat itu baginya secara berjuta-juta anak tangga yang harus ia turuni untuk mencapai lapangan basket. Apalagi setelah meunuruni beberapa anak tangga dia harus segera melaksanakan hukuman Pak Sarto untuk lari keliling lapangan 10 putaran.
“Betapa beratnya hari ini,” batin Nisa.
“Dasar tuh guru tua, botak, ngeselin banget sih,” rutuk Nisa sambil berlari-lari keliling lapangan basket dengan setengah bahkan seperempat hati.
“Kenapa? Dihukum ya?” tiba-tiba terdengar suara cowok yang lembut banget.
“Ehh . . . iya . . a . .a,” Nisa menjawab dengan agak gugup karena ternyata cowok itu begitu tampan persis kayak Dude Herlino artis Jakarta itu.
“Andaikan gue jadi pacarnya?” batin Nisa. Seakan bisa mendengar apa kata hati Nisa dengan tepat.
“Bisa aja kok,” katanya dengan senyum yang manis banget ( gula aja kalah tuh ).
Nisa yang dari tadi Cuma melongo, tiba-tiba manggut mangggut tidak jelas sambil senyum-senyum sendiri yang embuat cowok itu tersenyum geli melihat tingkah Nisa yang aneh.
“Lucu banget sih nih cewek,” batinnya dengan senyumitu oaan kecil di bibirnya.
“Gue Nisa,” kenal Nisa pada coeok itu sambil menggulurkan tangan. Dan cowok itu menyambut uluran tangan Nisa dengan lembut lalu memperkenalkan dirinya.
“Gue Raga,” katanya
Siang itu begitu panas cuacanya apalagi harus ditambah dengan hukuman dari pak sarto,yang alhasil membuat Nisa ngos-ngosan setengah hidup. Tapi perkenalannya dengan Raga tadi membuat semua lebih baik.
Dimalam yang penuh dengan cahaya bintang dilangit sana. Nisa duduk termenung dibawah pohon jambu sambil duduk dibangku panjang diteras rumahnya. Pikiran dan ingatannya melayang keperistiwa 8 tahun yang lalu saat ayahnya pergi meninggalkan dia dan ibunya, betapa hari itu sangat membuat Nisa terpukul apalagi ayahnya sempat tidak mengakui kalau Nisa adalah putrinya. Wlaupun kejadian itu berlangsung beberpa tahun yang lalau tapi peristiwa itu mengguratkan luka menganga di batinnya, seakan dia tidak ingin memeulai apapun dengan seorang laki-laki karena semua itu akan berakhir luka.
Kau bagaikan embun di pagi ku,
Membuat daun-daun hatiku basah olehmu,
Tapi kau berlalu bagai topan pergi ketika memporakporandakan hati ini,
Akankah pelangi menyatukan kita dalam warna kebersamaan yang indah ayah?
Bulir-bulir air mata menetes dipipi nisa saat membaca bait puisi yang dia tulis disebuah kertas yang kini sudah sangat lusuh karena termakan usia, bait itu ia tulis delapan tahun yang lalu saat ayahnya meninggalkannya. Walau saat membaca bait itu dia menangis tapi semua itu juga telah menimbulkan semangat dihatinya untuk tetap cerinya dalam menjalani hari-harinya, dan tetap selalu disisih ibunya sampai kapanpun.
Sambil mengusap air matanya dia melipat kertas lusuh itu dan menyimpannya kembali.
“Ayah, aku akan tetap mengingatmu dan aku janji akan selalu tersenyum sepanjang hariku,” kata Nisa sambil berdiri dari duduknya semula.
Sejak pertemuannya dengan Raga disiang itu mereka terlihat semakin akrab mereka selalu bersama – sama, belajar bersama adalah hal yang paling sering mereka lakukan. Sampai suatu ketika terdengar kabar bahwa mereka sudah jadian.
Tiga bulan mereka menjalin cinta, dihari-hari Nisa selalu ada tawa bahagia, baginya hanya Raga yang mampu membuatnya selalu tertawa. Seperti bulan yang selalu menjadi satelit Bumi begitu juga dengannya hidupnya selalu berputar disekeliling Raga.
Disaat tawa terdapat di hari-hari Nisa terdengar sebuah kabar bahwa Raga Caesar Prayoga telah meninggal dunia karena gagal ginjal yang dideritanya selama ini.
“Raga, kenapa kau meninggalkan aku sendirian, kenapa kamu tidak pernah bilang kalau kamu sakit Raga?” ratap Nisa diatas pusara Raga yang masih basah oleh air kembang.
“Raga memang selama ini menderita gagal ginjal, tapi dia melarang tante untuk cerita ke kamu Nisa karena dia takut kamu sedih,” jelas ibu raga,
Yang membuatnya tertunduk dalam tangisnya, dan hal itu juga membuat ibu Raga juga ikut sedih sehingga mereka salaing berangkulan untuk merigankan beban masing-masing.
Sesudah Nisa agak sedikit baikan, ibu raga menyerahkan sepucuk surat beramplop coklat pada Nisa.
“Raga menitipkan ini untuk kamu.”
Nisa membuka amplop surat itu dengan air mata tertahan, setelah membuka amplop coklat itu dia membaca suratnya dengan dada penuh sesak.
Dear Nisa
Maafkan aku yang lancing mencintaimu Nisa?
Maafkan aku yang telah menjadi pusat berputarmu selama ini.
Maafkan sebab aku harus pergi ke suatu tempat yang jauh nis.
Mungkin saat kau membaca surat ini aku telah pergi dari hidupmu selamanya
Nisa . . . . . jangan kau tangisi kepergianku
Karena aku hanya ingin pergi dengan melihat tawamu
Tersenyumlah nisa!
Yakinlah! aku akan tetap disisimu dihatimu nis.
Saat kau merindukanku lihatlah pelangi ketika hujan telah usai dan disaat itu jualah aku juga melihatmu karena keindahan pelangi yang akan menyatukan kita.
From Raga (I will always love you)
***
Satu tahun kepergian Raga telah berlalu hidup Nisa berjalan normal kembali walau dia tidak akan pernah melupakan Raga.
***
Saat itu hujan turun dengan derasnya, ketika hujan mulai reda beberapa jam kemudian, muncullah pelangi yang begitu indah membelah langit yang kelam. Tiba-tiba nisa teringat kata-kata Raga dalam suratnya.
“Ternyata kau disana Raga, pelangi telah menyatukan kita seperti yang kau bilang,” gumam Nisa sambil terus memandangi pelangi itu dengan penuh kerinduan pada kekasihnya “Raga”.
The End
By Aprilia Ananta Widiastuti / XII IPA 1 / SMARING