Jumat, 19 Agustus 2011

CERPEN CINTA



AKANKAH PELANGI MENYATUKAN KITA?

Konon, manusia yang hidup dalam keluarga Broken Home adalah manusia gagal dalam masyarakat. Tapi tidak dengan satu orang ini, seorang cewek yang begitu ceria dalam menjalani hari-harinya.
Dan inilah kisahnya
***
Semakin siang, semakin panas dan semakin mengantuk. Seperti itulah wajah-wajah anak kelas XI IPA 3 saat ini yang sedangmendengarkan ceramah pelajaran dari Bapak Sarto Mangkudirdjo Hadi Kusumo Diningrat. Seperti namanya yang begitu panjang dan penuh makna, orangnya juga penuh makna, sampai-sampai seluruh anak kelas XI IPA 1 sampai XI IPA 3 tidak pernah mengerti apa yang selalu dibicarakan olehnya saat mengajar Biologi di depan kelas. Beliau juga tipe guru yang sangat senang menggambar organ-organ manusia, mungkin bisa dikatakan kalau Pak Sarto ini pantas menjadi guru kesenian saja dibandingkan jadi guru Biologi.
Disaat semua anak IPA 3 sedang sibuk mencatat berjuta-juta kalimat di papan tulis, tapi tidak semua mencatat, ada yang ketiduran sampai udah mimpi ke Jakarta atau Amerika, ada juga yang sibuk berdandan. Memang sekarang ini kalau dilihat-lihat para siswa itu lebih banyak membawa alat kosmetik ditasnya daripada buku pelajaran.
***
          “Gw pengen pipis,” bisik Nisa pada teman sebangkunya yang sedang sibuk mencatat pelajaran.
          “Ya, sana ke kamar mandi!” jawab Nina tanpa menoleh sedikit pun ke Nisa karena tatapannya masih tertuju pada papan tulis di depan kelas.
          Nisa beranjak dari tempat duduknya dan mendekati meja guru yang sedang diduduki oleh guru killer itu, dengan jantung seperti mau takbiran.
          “Pak, mau izin ke kamar mandi?” pinta Nisa pada gurunya dengan wajah menunduk karena takut.
          “Mau ngapain ke kamar mandi?” Tanya Pak Sarto dengan mata menyelidik penuh kecurigaan pada Nisa.
          “Ya, mau pipis lah pak!” masak mau makan?” jawab Nisa dengan keceplosan. Sontak wajah Nisa menjadi merah karena malu dan ketakutan kalau-kalau mau di grogot Pak Sarto.
          Sontak seisi kelas XI IPA 3 SMA Puspa Harum mengalihkan pandangan kea rah Nisa dan Pak Sarto yang saat itu sedang bertatapan penuh kekejaman seakan mereka ingin saling bunuh (Alah Lebay . . . hahaha!!! ). Beberapa detik kemudian terdengar suara tawa membahara diseluruh kelas sebab anak-anak tidak sanggup lagi menahan tawa karena ulah si Nisa.
          “Diam kalian semua!” teriak Pak Sarto dengan kecepatan suara supersonic yang membuat telinga anak-anak pada mengkerut semua. Dan dalam secepat kilat mereka semua diam dalam keheningan siang.
          “Apa yang kalian tertawakan? Tidak ada yang lucu disini!” lanjut Pak Sarto yang membuat suasana kelas menjadi semakin mencekam.
          “Kamu . . . (tunjuk Pak Sarto pada Nisa dengan mata melotot) cepat ke lapangan dan lari 10 putaran!” perintah Pak Sarto pada Nisa, yang sedang merutuki sendiri karena keceplosan bicara.
          “Iya pak,” jawabnya dengan nada yang sangat lemas kayak orang tidak makan selama 10 hari.
          Memang begitulah Pak Sarto, jenis guru yang suka memberi hukuman kepada muridnya tanpa ba-bi-bu lagi.
          Dengan langkah gontai Nisa menuruni satu demi satu anak tangga lantai XI IPA 3, yang saat itu baginya secara berjuta-juta anak tangga yang harus ia turuni untuk mencapai lapangan basket. Apalagi setelah meunuruni beberapa anak tangga dia harus segera melaksanakan hukuman Pak Sarto untuk lari keliling lapangan 10 putaran.
          “Betapa beratnya hari ini,” batin Nisa.
          “Dasar tuh guru tua, botak, ngeselin banget sih,” rutuk Nisa sambil berlari-lari keliling lapangan basket dengan setengah bahkan seperempat hati.
          “Kenapa? Dihukum ya?” tiba-tiba terdengar suara cowok yang lembut banget.
          “Ehh . . . iya . . a . .a,” Nisa menjawab dengan agak gugup karena ternyata cowok itu begitu tampan persis kayak Dude Herlino artis Jakarta itu.
          “Andaikan gue jadi pacarnya?” batin Nisa. Seakan bisa mendengar apa kata hati Nisa dengan tepat.
          “Bisa aja kok,” katanya dengan senyum yang manis banget ( gula aja kalah tuh ).
Nisa yang dari tadi Cuma melongo, tiba-tiba manggut mangggut tidak jelas sambil senyum-senyum sendiri yang embuat cowok itu tersenyum geli melihat tingkah Nisa yang aneh.
          “Lucu banget sih nih cewek,” batinnya dengan senyumitu oaan kecil di bibirnya.
          “Gue Nisa,” kenal Nisa pada coeok itu sambil menggulurkan tangan. Dan cowok itu menyambut uluran tangan Nisa dengan lembut lalu memperkenalkan dirinya.
          “Gue Raga,” katanya
          Siang itu begitu panas cuacanya apalagi harus ditambah dengan hukuman dari pak sarto,yang alhasil membuat Nisa ngos-ngosan setengah hidup. Tapi perkenalannya dengan Raga tadi membuat semua lebih baik.
          Dimalam yang penuh dengan cahaya bintang dilangit sana. Nisa duduk termenung dibawah pohon jambu sambil duduk dibangku panjang diteras rumahnya. Pikiran dan ingatannya melayang keperistiwa 8 tahun yang lalu saat ayahnya pergi meninggalkan dia dan ibunya, betapa hari itu sangat membuat Nisa terpukul apalagi ayahnya sempat tidak mengakui kalau Nisa adalah putrinya. Wlaupun kejadian itu berlangsung beberpa tahun yang lalau tapi peristiwa itu mengguratkan luka menganga di batinnya, seakan dia tidak ingin memeulai apapun dengan seorang laki-laki karena semua itu akan berakhir luka.
Kau bagaikan embun di pagi ku,
Membuat daun-daun hatiku basah olehmu,
Tapi kau berlalu bagai topan pergi ketika memporakporandakan hati ini,
Akankah pelangi menyatukan kita dalam warna kebersamaan yang indah ayah?
          Bulir-bulir air mata menetes dipipi nisa saat membaca bait puisi yang dia tulis disebuah kertas yang kini sudah sangat lusuh karena termakan usia, bait itu ia tulis delapan tahun yang lalu saat ayahnya meninggalkannya. Walau saat membaca bait itu dia menangis tapi semua itu juga telah menimbulkan semangat dihatinya untuk tetap cerinya dalam menjalani hari-harinya, dan tetap selalu disisih ibunya sampai kapanpun.
          Sambil mengusap air matanya dia melipat kertas lusuh itu dan menyimpannya kembali.
          “Ayah, aku akan tetap mengingatmu dan aku janji akan selalu tersenyum sepanjang hariku,” kata Nisa sambil berdiri dari duduknya semula.
          Sejak pertemuannya dengan Raga disiang itu mereka terlihat semakin akrab mereka selalu bersama – sama, belajar bersama adalah hal yang paling sering mereka lakukan. Sampai suatu ketika terdengar kabar bahwa mereka sudah jadian.
          Tiga bulan mereka menjalin cinta, dihari-hari Nisa selalu ada tawa bahagia, baginya hanya Raga yang mampu membuatnya selalu tertawa. Seperti bulan yang selalu menjadi satelit Bumi begitu juga dengannya hidupnya selalu berputar disekeliling Raga.
          Disaat tawa terdapat di hari-hari Nisa terdengar sebuah kabar bahwa Raga Caesar Prayoga telah meninggal dunia karena gagal ginjal yang dideritanya selama ini.
          “Raga, kenapa kau meninggalkan aku sendirian, kenapa kamu tidak pernah bilang kalau kamu sakit Raga?” ratap Nisa diatas pusara Raga yang masih basah oleh air kembang.
          “Raga memang selama ini menderita gagal ginjal, tapi dia melarang tante untuk cerita ke kamu Nisa karena dia takut kamu sedih,” jelas ibu raga,
Yang membuatnya tertunduk dalam tangisnya, dan hal itu juga membuat ibu Raga juga ikut sedih sehingga mereka salaing berangkulan untuk merigankan beban masing-masing.
          Sesudah Nisa agak sedikit baikan, ibu raga menyerahkan sepucuk surat beramplop coklat pada Nisa.
          “Raga menitipkan ini untuk kamu.”
Nisa membuka amplop surat itu dengan air mata tertahan, setelah membuka amplop coklat itu dia membaca suratnya dengan dada penuh sesak.
Dear Nisa
Maafkan aku yang lancing mencintaimu Nisa?
Maafkan aku yang telah menjadi pusat berputarmu selama ini.
Maafkan sebab aku harus pergi ke suatu tempat yang jauh nis.
Mungkin saat kau membaca surat ini aku telah pergi dari hidupmu selamanya
Nisa . . . . . jangan kau tangisi kepergianku
Karena aku hanya ingin pergi dengan melihat tawamu
Tersenyumlah nisa!
Yakinlah! aku akan tetap disisimu dihatimu nis.
Saat kau merindukanku lihatlah pelangi ketika hujan telah usai dan disaat itu jualah aku juga melihatmu karena keindahan pelangi yang akan menyatukan kita.
From Raga (I will always love you)
***
Satu tahun kepergian Raga telah berlalu hidup Nisa berjalan normal kembali walau dia tidak akan pernah melupakan Raga.
***
Saat itu hujan turun dengan derasnya, ketika hujan mulai reda beberapa jam kemudian, muncullah pelangi yang begitu indah membelah langit yang kelam. Tiba-tiba nisa teringat kata-kata Raga dalam suratnya.
          “Ternyata kau disana Raga, pelangi telah menyatukan kita seperti yang kau bilang,” gumam Nisa sambil terus memandangi pelangi itu dengan penuh kerinduan pada kekasihnya “Raga”.

The End
By Aprilia Ananta Widiastuti / XII IPA 1 /  SMARING

CERPEN CINTA DAN PERSAHABATAN


AKANKAH PELANGI MENYATUKAN KITA?

Konon, manusia yang hidup dalam keluarga Broken Home adalah manusia gagal dalam masyarakat. Tapi tidak dengan satu orang ini, seorang cewek yang begitu ceria dalam menjalani hari-harinya.
Dan inilah kisahnya
***
Semakin siang, semakin panas dan semakin mengantuk. Seperti itulah wajah-wajah anak kelas XI IPA 3 saat ini yang sedangmendengarkan ceramah pelajaran dari Bapak Sarto Mangkudirdjo Hadi Kusumo Diningrat. Seperti namanya yang begitu panjang dan penuh makna, orangnya juga penuh makna, sampai-sampai seluruh anak kelas XI IPA 1 sampai XI IPA 3 tidak pernah mengerti apa yang selalu dibicarakan olehnya saat mengajar Biologi di depan kelas. Beliau juga tipe guru yang sangat senang menggambar organ-organ manusia, mungkin bisa dikatakan kalau Pak Sarto ini pantas menjadi guru kesenian saja dibandingkan jadi guru Biologi.
Disaat semua anak IPA 3 sedang sibuk mencatat berjuta-juta kalimat di papan tulis, tapi tidak semua mencatat, ada yang ketiduran sampai udah mimpi ke Jakarta atau Amerika, ada juga yang sibuk berdandan. Memang sekarang ini kalau dilihat-lihat para siswa itu lebih banyak membawa alat kosmetik ditasnya daripada buku pelajaran.
***
          “Gw pengen pipis,” bisik Nisa pada teman sebangkunya yang sedang sibuk mencatat pelajaran.
          “Ya, sana ke kamar mandi!” jawab Nina tanpa menoleh sedikit pun ke Nisa karena tatapannya masih tertuju pada papan tulis di depan kelas.
          Nisa beranjak dari tempat duduknya dan mendekati meja guru yang sedang diduduki oleh guru killer itu, dengan jantung seperti mau takbiran.
          “Pak, mau izin ke kamar mandi?” pinta Nisa pada gurunya dengan wajah menunduk karena takut.
          “Mau ngapain ke kamar mandi?” Tanya Pak Sarto dengan mata menyelidik penuh kecurigaan pada Nisa.
          “Ya, mau pipis lah pak!” masak mau makan?” jawab Nisa dengan keceplosan. Sontak wajah Nisa menjadi merah karena malu dan ketakutan kalau-kalau mau di grogot Pak Sarto.
          Sontak seisi kelas XI IPA 3 SMA Puspa Harum mengalihkan pandangan kea rah Nisa dan Pak Sarto yang saat itu sedang bertatapan penuh kekejaman seakan mereka ingin saling bunuh (Alah Lebay . . . hahaha!!! ). Beberapa detik kemudian terdengar suara tawa membahara diseluruh kelas sebab anak-anak tidak sanggup lagi menahan tawa karena ulah si Nisa.
          “Diam kalian semua!” teriak Pak Sarto dengan kecepatan suara supersonic yang membuat telinga anak-anak pada mengkerut semua. Dan dalam secepat kilat mereka semua diam dalam keheningan siang.
          “Apa yang kalian tertawakan? Tidak ada yang lucu disini!” lanjut Pak Sarto yang membuat suasana kelas menjadi semakin mencekam.
          “Kamu . . . (tunjuk Pak Sarto pada Nisa dengan mata melotot) cepat ke lapangan dan lari 10 putaran!” perintah Pak Sarto pada Nisa, yang sedang merutuki sendiri karena keceplosan bicara.
          “Iya pak,” jawabnya dengan nada yang sangat lemas kayak orang tidak makan selama 10 hari.
          Memang begitulah Pak Sarto, jenis guru yang suka memberi hukuman kepada muridnya tanpa ba-bi-bu lagi.
          Dengan langkah gontai Nisa menuruni satu demi satu anak tangga lantai XI IPA 3, yang saat itu baginya secara berjuta-juta anak tangga yang harus ia turuni untuk mencapai lapangan basket. Apalagi setelah meunuruni beberapa anak tangga dia harus segera melaksanakan hukuman Pak Sarto untuk lari keliling lapangan 10 putaran.
          “Betapa beratnya hari ini,” batin Nisa.
          “Dasar tuh guru tua, botak, ngeselin banget sih,” rutuk Nisa sambil berlari-lari keliling lapangan basket dengan setengah bahkan seperempat hati.
          “Kenapa? Dihukum ya?” tiba-tiba terdengar suara cowok yang lembut banget.
          “Ehh . . . iya . . a . .a,” Nisa menjawab dengan agak gugup karena ternyata cowok itu begitu tampan persis kayak Dude Herlino artis Jakarta itu.
          “Andaikan gue jadi pacarnya?” batin Nisa. Seakan bisa mendengar apa kata hati Nisa dengan tepat.
          “Bisa aja kok,” katanya dengan senyum yang manis banget ( gula aja kalah tuh ).
Nisa yang dari tadi Cuma melongo, tiba-tiba manggut mangggut tidak jelas sambil senyum-senyum sendiri yang embuat cowok itu tersenyum geli melihat tingkah Nisa yang aneh.
          “Lucu banget sih nih cewek,” batinnya dengan senyumitu oaan kecil di bibirnya.
          “Gue Nisa,” kenal Nisa pada coeok itu sambil menggulurkan tangan. Dan cowok itu menyambut uluran tangan Nisa dengan lembut lalu memperkenalkan dirinya.
          “Gue Raga,” katanya
          Siang itu begitu panas cuacanya apalagi harus ditambah dengan hukuman dari pak sarto,yang alhasil membuat Nisa ngos-ngosan setengah hidup. Tapi perkenalannya dengan Raga tadi membuat semua lebih baik.
          Dimalam yang penuh dengan cahaya bintang dilangit sana. Nisa duduk termenung dibawah pohon jambu sambil duduk dibangku panjang diteras rumahnya. Pikiran dan ingatannya melayang keperistiwa 8 tahun yang lalu saat ayahnya pergi meninggalkan dia dan ibunya, betapa hari itu sangat membuat Nisa terpukul apalagi ayahnya sempat tidak mengakui kalau Nisa adalah putrinya. Wlaupun kejadian itu berlangsung beberpa tahun yang lalau tapi peristiwa itu mengguratkan luka menganga di batinnya, seakan dia tidak ingin memeulai apapun dengan seorang laki-laki karena semua itu akan berakhir luka.
Kau bagaikan embun di pagi ku,
Membuat daun-daun hatiku basah olehmu,
Tapi kau berlalu bagai topan pergi ketika memporakporandakan hati ini,
Akankah pelangi menyatukan kita dalam warna kebersamaan yang indah ayah?
          Bulir-bulir air mata menetes dipipi nisa saat membaca bait puisi yang dia tulis disebuah kertas yang kini sudah sangat lusuh karena termakan usia, bait itu ia tulis delapan tahun yang lalu saat ayahnya meninggalkannya. Walau saat membaca bait itu dia menangis tapi semua itu juga telah menimbulkan semangat dihatinya untuk tetap cerinya dalam menjalani hari-harinya, dan tetap selalu disisih ibunya sampai kapanpun.
          Sambil mengusap air matanya dia melipat kertas lusuh itu dan menyimpannya kembali.
          “Ayah, aku akan tetap mengingatmu dan aku janji akan selalu tersenyum sepanjang hariku,” kata Nisa sambil berdiri dari duduknya semula.
          Sejak pertemuannya dengan Raga disiang itu mereka terlihat semakin akrab mereka selalu bersama – sama, belajar bersama adalah hal yang paling sering mereka lakukan. Sampai suatu ketika terdengar kabar bahwa mereka sudah jadian.
          Tiga bulan mereka menjalin cinta, dihari-hari Nisa selalu ada tawa bahagia, baginya hanya Raga yang mampu membuatnya selalu tertawa. Seperti bulan yang selalu menjadi satelit Bumi begitu juga dengannya hidupnya selalu berputar disekeliling Raga.
          Disaat tawa terdapat di hari-hari Nisa terdengar sebuah kabar bahwa Raga Caesar Prayoga telah meninggal dunia karena gagal ginjal yang dideritanya selama ini.
          “Raga, kenapa kau meninggalkan aku sendirian, kenapa kamu tidak pernah bilang kalau kamu sakit Raga?” ratap Nisa diatas pusara Raga yang masih basah oleh air kembang.
          “Raga memang selama ini menderita gagal ginjal, tapi dia melarang tante untuk cerita ke kamu Nisa karena dia takut kamu sedih,” jelas ibu raga,
Yang membuatnya tertunduk dalam tangisnya, dan hal itu juga membuat ibu Raga juga ikut sedih sehingga mereka salaing berangkulan untuk merigankan beban masing-masing.
          Sesudah Nisa agak sedikit baikan, ibu raga menyerahkan sepucuk surat beramplop coklat pada Nisa.
          “Raga menitipkan ini untuk kamu.”
Nisa membuka amplop surat itu dengan air mata tertahan, setelah membuka amplop coklat itu dia membaca suratnya dengan dada penuh sesak.
Dear Nisa
Maafkan aku yang lancing mencintaimu Nisa?
Maafkan aku yang telah menjadi pusat berputarmu selama ini.
Maafkan sebab aku harus pergi ke suatu tempat yang jauh nis.
Mungkin saat kau membaca surat ini aku telah pergi dari hidupmu selamanya
Nisa . . . . . jangan kau tangisi kepergianku
Karena aku hanya ingin pergi dengan melihat tawamu
Tersenyumlah nisa!
Yakinlah! aku akan tetap disisimu dihatimu nis.
Saat kau merindukanku lihatlah pelangi ketika hujan telah usai dan disaat itu jualah aku juga melihatmu karena keindahan pelangi yang akan menyatukan kita.
From Raga (I will always love you)
***
Satu tahun kepergian Raga telah berlalu hidup Nisa berjalan normal kembali walau dia tidak akan pernah melupakan Raga.
***
Saat itu hujan turun dengan derasnya, ketika hujan mulai reda beberapa jam kemudian, muncullah pelangi yang begitu indah membelah langit yang kelam. Tiba-tiba nisa teringat kata-kata Raga dalam suratnya.
          “Ternyata kau disana Raga, pelangi telah menyatukan kita seperti yang kau bilang,” gumam Nisa sambil terus memandangi pelangi itu dengan penuh kerinduan pada kekasihnya “Raga”.

The End

Kamis, 18 Agustus 2011

CERPEN CINTA DAN PERSAHABATAN

Cerpen Karyaku Nih semoga Menghibur Kalian Semua > > 
BUKIT ITU SAKSI KITA

    Sahabat adalah sebuah kata yang menandakan bahwa manusia adalah makhluk sosial namun demikian besar arti sebenarnya dari sebuah persahabatan sehingga membuatnya begitu berarti. Kadang sahabat dapat membuat hari-hari yang kita lalui benar-benar indah dan memiliki banyak cerita, namun kadang juga sahabat membuat kenangan terburuk untuk kita sepanjang hidup. Seperti sebuah persahabatan yang terjadi pada seorang anak yang bernama Aghel ini, dari sahabat menjadi cinta.
    Aghel adalah seorang anak yang terkenal sangat baik di sekolah. Prestasi sekolahnya juga cukup membuat kedua orang tuanya bangga. Aghel yang sekarang duduk di bangku kelas satu SMA N 165 Cluring ini memiliki banyak teman, terutama teman sekelasnya . Ia sepulang sekolah biasanya suka menyusuri bukit di belakang rumahnya. Biasanya Ia menyusuri bukit sendiri.
    "Alam adalah kehidupan gua, sungai, sawah, bukit adalah tempat yang gua sukai!" ujar Aghel.
    Matahari sudah semakin tinggi ketika Aghel masih terlelap di atas ranjang tidurnya. Rasa malas masih menggodanya dengan mimpi-mimpi. Terasa selimut sedikit menjauh, memberikan hawa sejuk ke kakinya. Dengan mata terpejam Aghel mencoba menarik selimutnya kembali. Namun sepertinya selimut Aghel tidak ingin menurut pada tuannya. Dengan susah payah Aghel kembali menariknya. Namun lagi-lagi selimut itu merosot hingga jatuh. Karena kesal Aghel pun mengabaikannya dan bangun dari tidurnya. Tak lama kemudian setelah dia mandi dan siap-siap, Aghel langsung berangkat sekolah seperti biasanya. Aghel selalu tiba disekolah tepat saat bel masuk sekolah berbunyi.
"Bertemu lagi dengan senin? hari yang sangat melelahkan, Fisika, Biologi, Matematika, Bahasa Inggris adalah mata pelajaran yang sangat membosankan buat gua, menghitung, mencatat, menghapal selalu memahat otak gua!" gumam Aghel.
    Tepat  pukul 01.00,,, tet,,, tet,,, tet bel sekolah tanda pulang telah berbunyi. Aghel bergegas pulang bersama temennya. Sampai dirumah ia langsung ganti baju dan langsung Out ke bukit belakang rumahnya. Dengan sembunyi-sembunyi ia berjalan menuju ke bukit belakang rumahnya. Itu dia lakukan karna orang tuanya melarang dia bermain di bukit itu, entah kenapa orang tuanya melarang Aghel  bermain di bukit itu.
"Langkah kakiku menghantarkanku ke tempat peristirahatan terakhir kakekku, suasana sunyi sepi diiringi rentetan semilir angin menerpaku membuatku terlelap santai di atas pohon mangga samping pemakaman."
Dari kejauhan terdengar lirih suara langkah kaki dari sudut pemakaman. Seorang cewek cantik berjalan santai menghampiri Aghel.

"Ghel lagi ngapain loe di atas pohon?" tanya anak itu.
"Cantik banget ya? Apa gua sedang mimpi?" batin Aghel.
"Hai, , ,! Malah bengong loe?" kata anak itu.
    "(Kaget) Loe siapa ?" tanya Aghel.
 "Gua Ocha!" jawab Ocha sambil berjabat tangan.
"Lagi ngapain loe disini Ghel?" lanjut Ocha.
"Ooo, , , gua  lagi nyantai nih ,,,!" kata Aghel dengan senyuman penuh harapan. Dan dari sinilah pertemanan Aghel dengan Ocha dimulai.
    Di suatu malam yang ditemani terangnya pancaran sinar sang rembulan, Aghel duduk melamun di teras depan rumahnya. Dia masih bingung dengan cewek yang tadi menemuinya. Dia melamun sambil bernyanyi,

Cinta kata orang ku jatuh cinta
Kepada dirimu cinta sampai tergila-gila
Rindu rinduku, kumemikirkan kamu
Hanyalah dirimu yang membuatku mabuk kepayang    
"Mungkinkah gua cinta pada pndangan pertama ya?" tanya Aghel dalam hati.  
***
     Pagi itu udara sangat sejuk dan dingin, seperti biasanya kegiatan Aghel molor di kamarnya. Kring . . . kring . . . kring!" jam beker berbunyi tepat jam 6 pagi, Aghel langsung bangun dan bersiap-siap sekolah. Yah seperti biasanya juga selalu hampir terlambat. Mata pelajaran pertama adalah Pelajaran Seni Budaya, sebelum pelajaran dimulai biasanya anak-anak membaca Asma'ul Husna, ya sekedar mendekatkan diri kepada Allah.
Waktu itu Pak Mahmudi masih belum datang, jadi seluruh anak sepeda atau kumpulan anak sepuluh dua ramai bermain didalam kelas. Di pojok kelas terlihat Aghel lagi asyik ngobrol dengan teman sebangkunya.
    "Eh . . . c0y, gua kemarin kenalan sama cewek cantik banget di kuburan," celoteh Aghel pada teman sebangkunya yaitu Reno.
    "Wuih  . . .  jangan-jangan tuh cewek kuntilABG lagi, hahahhaa . . . ," kata Reno sambil ketawa.
    "Ada-ada saja loe ren,"
    "Namanya siapa c0y?" lanjut Reno.
    "Kalau nggak salah namanya Ocha ren," jawab Aghel.
    "Boleh juga tuh dikenalin sama gua," pinta Reno pada Aghel.
    "Ya entar kapan-kapan gua kenalin c0y," jawab Reno.
    "Heh, teman-teman Pak Saradi datang!" teriak ketua kelas.
Seluruh kelas sontak kaget karena Pak Mahmudi datang. Tak disangka tak diduga tak dikira Pak Mahmudi datang dengan seorang murid cewek.
    "Assalamualaikum anak-anak!" salam Pak Mahmudi sambil memasuki kelas.
    "Walaikumsalamwarahmatullahiwabarokatuh!" jawab anak-anak sepeda dengan serempak.
    "Baiklah anak-anak, disini kita kedatangan murid baru dari sekolah tetangga," Pak Mahmud memberitahu siswa.
Sontak si Aghel kaget karena murid barunya adalah si Ocha, cewek yang kemarin nyamperin Aghel waktu di pemakaman.
    "Eh, Ocha loe pindah kesini ya?" Tanya Aghel keceplosan.
    "Cie- cie . . . ," teriak seluruh siswa kelas X 2 dengan mata tertuju pada Aghel.
    "Diam kalian semua," teriak Pak Mahmudi.
    "Ayo kamu silakan perkenalkan diri kamu," suruh Pak Mahmudi pada murid baru.
    "Iya pak, perkenalkan nama saya Ocha Puspa Prastiwi, aku pindahan dari SMA Kartini," ucap Ocha.
    "Eh, ocha kamu pacarnya si Aghel ya?" Tanya Reno yang bermaksud ngeledek Aghel.
    "Apa-apaan sih loe?" Tanya Aghel pada Reno sambil marah.
    "Sudah-sudah, semua jangan ramai, ocha silakan kamu cari bangku yang kosong" kata Pak Mahmudi.
    "Iya pak," jawab Ocha.
Pelajaran Seni dimulai, seperti biasanya Pak Mahmudi selalu menyuruh salah satu anak untuk membacakan materi sampai 5 halaman (Haduch bisa ngantuk gua kalau kayak gitu). Itulah kebiasaan Pak Mahmudi yang membuat seluruh siswa ngantuk berat. Setiap pulang sekolah Aghel menghampiri Ocha.
    "Cha, ntar kita ketemuan di bukit belakang rumah gua ya?" pinta Aghel pada Ocha.
    "OK ghel," jawab Ocha.
Begitulah kegiatan sepasang sahabat ini, setiap pulang sekolah selalu bermain bersama di bukit belakang rumah Aghel. Persahabatan mereka tetap awet sampai kelas sebelas, kebetulan banget mereka berdua satu kelas dan satu jurusan lagi yakni jurusan IPA. Mereka mempunyai julukan persahabatan yaitu sahabat takodel-kodel hahahaha. . . (lucu ya namanya).
***
    "Ghel . . . ," panggil Ocha dengan suara lantang.
    "Apa cha?" Tanya Aghel sambil mendekati Ocha.
    "Sini loe duduk, gua minta bantuan loe!" ucap Ocha.
    "Minta tolong apa cha?" Tanya Aghel sambil makan snack yang ia pegang.
    "Loe kenal nggak si Dino anak IPS 2?" ujar Ocha.
    "Oh,,, si Dino itu? Gua kenal, emang kenapa cha?" Tanya Aghel.
    "Gua minta bantuan loe, mintakan no HP nya dia dong!" pinta Ocha dengan penuh harapan.
    "Loe naksir ama Dino ya cha? Hati-hati cha, bukannya gua ngejelekin dino dimata loe, tapi dia anak nggak baik," ujar Aghel menerangkan pada Ocha.
    "Kok loe gitu sih ghel!" loe ikhlas nggak sih nolongin gua?" Tanya Ocha dengan nada tinggi.
    "Ikhlas kok cha, ntar gua maintain," jawab Aghel.
    Sepulang sekolah Aghel ngajak Ocha ketemuan, seperti biasanya di markas persahabatan mereka berdua di puncak bukit. Waktu itu Ahel berniat memberikan nomor HPnya si Dino ke Ocha. Sebenarnya Aghel naksir sama Ocha, namun Aghel nggak berani ngungkapin perasaannya ke Ocha, itu bukan karena Aghel cemen, itu mungkin karena si Aghel takut kalau-kalau ntar dia ngungkapin perasaannya ke Ocha kemudian ditolak? Mungkin persahabatan mereka akan End. Maka dari itu si Aghel nggak mau ngungkapin perasaannya ke Ocha.
    "Lama banget sih si Ocha," gumam Aghel sambil mondar-mandir di sekitar batu besar di puncak bukit.
Belum lama Aghel ngomong, dari kejauhan terlihat Ocha berjalan santai menuju Aghel.
    "Cha, lama banget sih loe!" teriak Aghel.
    "Sory ghel, loe dah dapat no nya Dino?" Tanya Ocha sambil berlari menuju Aghel.
    "Nih, no nya cari aja di daftar kontak gua!" jawab Aghel dengan sedikit kesal.
    "Makasih ya ghel, loe emang sahabat gua yang takodel-kodel dah, heheheh . . .," ucap Ocha dengan senang.
    "Ya sudah cha gua mau pulang," ujar Aghel.
***
    Seminggu setelah Ocha mendapatkan no HP Dino, Ocha dan Dino jadian. Namun Aghel tidak tahu kalau Ocha dan Dino jadian. Beberapa hari kemudian Aghel mengetahui kalau sahabat takodel-kodelnya yakni si Ocha jadian sama Dino, Aghel terlihat sangat marah. Setelah ia mengetahui itu ia langsung menghampiri Ocha untuk memberitahunya kalau si Dino adalah anak yang suka mabuk-mabukan, tapi Ocha tetap kekeh pada jalannya dan Ocha sangat marah dengan perkataan Aghel itu, dan ia tetap berpacaran dengan Dino. Beberapa bulan kemudian Ocha tahu kalau omongan si Aghel itu benar, ia diberitahu temannya kalau Dino sering mabuk-mabukan di rumahnya. Akhirnya Ocha mutusin hubungannya dengan Dino.
    "Selekethep , , , selekethe , , , kring , , , kring (bunyi HP Aghel),"
From : Ocha
Gh3l, t3ryt4 0mg4n l0e bn3er
D!n0 sk4 mbuk2an, gu4 m!nt4 5'f ghel, gu4 ud4h mutusin Din0
Bs0k loe mw nggak kt3muan ma gu4 d buk!t?"
Itulah isi SMS Ocha untuk Aghel. Keesokan harinya Aghel mendatangi Ocha di bukit.
    "Kenapa cha?" Tanya Aghel.
    "Ghel, gua minta maaf kalau kemarin gua marah-marah sama loe," ucap Ocha dengan lirih.
    "Gpp kok cha, gua sudah maafin loe," sahut Aghel.
    "Cha, gua boleh ngomong nggak sama loe?" lanjut Aghel.
    "Ngomong apa ghel?" Tanya Ocha.
    "Gini cha, sebenarnya gua suka sama loe, sebenarnya gua cemburu sama loe, tapi gua nggak berani ngungkapin perasaan gua ini ke loe, sory ya cha kalau gua ngomong kayak gini," ucap Aghel dengan sedikit menunduk.
    "Gpp kok ghel, sebenarnya gua juga suka sama loe, semenjak gua bertemu sama loe pertama kali gua sudah ngerasasuka sama loe," ujar Ocha.
    "Sekarang gimana cha loe mau nggak jadi capar gua, eh salah maksud gua pacar gua?" Tanya Aghel.
    "Gimana ya! Terserah loe dah ghel," jawab Ocha dengan senyum manisnya.
    "Kok gitu sih cha?" Tanya Aghel.
    "Em . . . OK dah gua mau, hehehe . . .!" jawab Ocha.
Akhirnya cinta yang ada di balik persahabatan mereka telah Nampak. Mereka berdua kini pacaran.
    "Cha ayo kita tulis di batu ini?" ajak Aghel.
    "Tulis apa'an ghel?" Tanya Ocha.
    "Tulis gini cha, BIARLAH BUKIT INI YANG MENJADI SAKSI CINTA KITA SELAMANYA," jawab Aghel sambil nulis kata itu di batu.
Hubungan mereka berjalan sangat baik, namun suatu hari hubungan mereka harus terputus oleh jarak. Karena Ocha harus pindah ke luar kota ikut orang tuanya yang mendapatkan tugas dinas diluar kota. 


THE END
By ARGA SAPUTRA/XII IPA 1/ SMA N 1 CLURING

Senin, 15 Agustus 2011

CERPEN

HILANGNYA SEORANG SAHABAT KARENA CINTA          
Sahabat adalah sebuah kata yang menandakan bahwa manusia adalah makhluk sosial namun demikian besar arti sebenarnya dari sebuah persahabatan sehingga membuatnya begitu berarti. Kadang sahabat dapat membuat hari-hari yang kita lalui benar-benar indah dan memiliki banyak cerita, namun kadang juga sahabat membuat kenangan terburuk untuk kita sepanjang hidup. Seperti sebuah persahabatan yang terjadi pada seorang anak yang bernama Bagas ini, dari sahabat menjadi cinta.
Bagas adalah seorang anak yang terkenal sangat baik di sekolah. Prestasi sekolahnya juga cukup membuat kedua orang tuanya bangga. Bagas yang sekarang duduk di bangku kelas satu SMP ini memiliki banyak teman, terutama teman sekelasnya . Ia sepulang sekolah biasanya suka menyusuri bukit di belakang rumahnya. Biasanya Ia menyusuri bukit sendiri.
“Alam adalah kehidupan gua, sungai, sawah, bukit adalah tempat yang gua sukai!” ujar Bagas.
Matahari sudah semakin tinggi ketika Aghel masih terlelap di atas ranjang tidurnya. Rasa malas masih menggodanya dengan mimpi-mimpi. Terasa selimut sedikit menjauh, memberikan hawa sejuk ke kakinya. Dengan mata terpejam Bagas mencoba menarik selimutnya kembali. Namun sepertinya selimut Bagas tidak ingin menurut pada tuannya. Dengan susah payah Bagas kembali menariknya. Namun lagi-lagi selimut itu merosot hingga jatuh. Karena kesal Bagas pun mengabaikannya dan bangun dari tidurnya. Tak lama kemudian setelah dia mandi dan siap-siap, Bagas langsung berangkat sekolah seperti biasanya. Bagas selalu tiba disekolah tepat saat bel masuk sekolah berbunyi.
“Bertemu lagi dengan senin? hari yang sangat melelahkan, Fisika, Biologi, Matematika, Bahasa Inggris adalah mata pelajaran yang sangat membosankan buat gua, menghitung, mencatat, menghapal selalu memahat otak gua!” gumam Bagas.
Tepat  pukul 01.00,,, tet,,, tet,,, tet bel sekolah tanda pulang telah berbunyi. Bagas bergegas pulang bersama temennya. Sampai dirumah ia langsung ganti baju dan langsung Out ke bukit belakang rumahnya. Dengan sembunyi-sembunyi ia berjalan menuju ke bukit belakang rumahnya. Itu dia lakukan karna orang tuanya melarang dia bermain di bukit itu, entah kenapa orang tuanya melarang Bagas  bermain di bukit itu.
“Langkah kakiku menghantarkanku ke tempat peristirahatan terakhir kakekku, suasana sunyi sepi diiringi rentetan semilir angin menerpaku membuatku terlelap santai di atas pohon mangga samping pemakaman.”
Dari kejauhan terdengar lirih suara langkah kaki dari sudut pemakaman. Seorang cewek cantik berjalan santai menghampiri Bagas.
“Ghel lagi ngapain loe di atas pohon?” tanya anak itu.
“Cantik banget ya? Apa gua sedang mimpi?” batin Bagas.
“Hai, , ,! Malah bengong loe?” kata anak itu.
          “(Kaget) Loe siapa?” tanya Bagas.
“Gua Ocha!” jawab Ocha sambil berjabat tangan.
“Lagi ngapain loe disini Gas?” lanjut Ocha.
“Ooo, , , gua  lagi nyantai nih ,,,!” kata Bagas dengan senyuman penuh harapan. Dan dari sinilah pertemanan Bagas dengan Ocha dimulai.
          Di suatu malam yang ditemani terangnya pancaran sinar sang rembulan, Bagas duduk melamun di teras depan rumahnya. Dia masih bingung dengan cewek yang tadi menemuinya. Dia melamun sambil bernyanyi,

Cinta kata orang ku jatuh cinta
Kepada dirimu cinta sampai tergila-gila
Rindu rinduku, kumemikirkan kamu
Hanyalah dirimu yang membuatku mabuk kepayang  
“Mungkinkah aku kini sedang jatuh cinta ya?” tanya Bagas dalam hati.

***

Kesesokan harinya Bagas datang lagi ke tempat ia bertemu Ocha kemarin. Mereka berdua selalu bermain bersama setiap Bagas pulang sekolah. Mereka berdua seperti sepasang sahabat yang tak pernah bisa di pisahkan oleh apapun. Begitupula dengan hari-hari berikutnya, mereka selalu bermain bersama di Bukit dekat pemakaman.
          “Cha, ayo ikut gua ke bukit, kita jalan-jalan!” ajak Bagas sambil menarik tangan Ocha.
          Ocha pun mengikuti ajakan Bagas. Hari itu Bagas bermaksud ingin menyatakan rasa cintanya ke Ocha. Namun, Bagas agak sedikit malu untuk menyatakan perasaannya kepada Ocha. Bagas memberanikan diri untuk menyatakan perasaannya itu. Dia memunyai rencana untuk mengajak Ocha ke puncak bukit nanti sore. Sekitar jam 4 sore Bagas mengajak Ocha berjalan-jalan ditepi sungai dekat bukit.
          “Gas, lu mau ajak gua kemana sih?” tanya Ocha penasaran.
          “Kita ke sungai dulu cha, sambil nunggu sore datang,” jawab Ocha.
          “Emang mau apa lu kalau sudah sore gas?” Tanya Ocha.
          “Kita lihat matahari tenggelam diatas bukit cha,” jawab Bagas.
          “Ok , , ,!” jawab Ocha dengan nada senang.
          Sekitar pukul 04.25 sore Aghel mengajak Ocha ke puncak bukit. Mereka berdua melewati jalan setapak yang di sekelilingnya tumbuh pohon-pohon hijau yang seakan meneduhi perjalanan mereka berdua. Setelah beberapa lama mereka berjalan, akhirnya mereka tiba juga di puncak bukit. Disana terlihat batu besar yang terdampar disamping pohon mangga.
          “Cha ayo kita duduk disana,” ajak Bagas sambil menunjuk batu besar itu.
         
“Ayo,” jawab Ocha.
 Tak lama mereka duduk-duduk di batu itu, matahari sudah mulai tenggelam. Dari ufuk barat terlihat langit berwarna merah.
          “Cha . . .!” sapa Bagas dengan malu.
          “Apa gas?” Tanya Ocha santai.
          “Aku ingin mengatakan sesuatu padamu!” ucap Bagas dengan sedikit ragu.
          “Katakan saja gas,” ucap Ocha.
          “Cha, kita kan sudah lama bersahabat, lama kelamaan gua ngerasa kalau gua suka sama loe, perasaan sayang gua ke loe lebih dari perasaan saying kepada seorang sahabat, loe mau nggak jadi pacar gua!” ucap Bagas dengan memegang tangan Ocha.
          Belum lama kata itu terucap dari mulut manis si Bagas. Ocha seketika samar-samar menghilang dari hadapan Bagas, Bagas pun kaget.
          “Cha, kamu kenapa cha, O… cha!” teriak Bagas sambil menangis.

by ARGA SAPUTRA / XII IPA 1 / SMA N 1 CLURING